TAUHID, JIWA MERDEKA, DAN AMAL SHALIH

TAUHID, JIWA MERDEKA, DAN AMAL SHALIH

 

 

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”

(Q.S. Muhammad (49) ayat 19)

 

Setiap muslim harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani yang berdasar tauhid kepada Allah SWT yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan. Iman dan tauhid adalah sumber seluruh kegiatan hidup yang tidak boleh diingkari sedikitpun dengan senantiasa menjauhi dan menolak syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat. Hal ini karena dapat menodai iman dan tauhid kepada Allah SWT itu sendiri. Komitmen ini selanjutnya terpancar dalam seluruh proses kehidupan dengan benar-benar menjadi pribadi yang menunjukkan perilak seorang mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna.



Secara bahasa, tauhid terambil dari bahasa Arab wahhadayuwahhidutauhidan, yang berarti mengesakan. Tauhid satu suku kata dengan kata wahid dan kata ahad. Wahid berarti satu dan kata ahad yang berarti esa. Tauhid dalam ajaran Islam berarti sebuah keyakinan akan keesaan Allah. Islam menjadikannya sebagai inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma ajaran yang bersifat tetap dan tidak berubah-rubah. Tauhid adalah sistem pandangan hidup yang menegaskan bahwa seluruh aspek yang ada dalam hidup dan kehidupan ini berasal dan bersumber hanya pada satu Tuhan saja, yaitu Allah Swt.


Makna tauhid tergambar daam kalimat tauhid yaitulaa ilaha illa Allah”. Kalimat ini  merupakan ungkapan agung dan memiliki konsekuensi bagi yang mempercayainya. Kandungan penting yang terdapat  dalam kalimat tauhid ini ada dua, yaitu al-nafyu (penafian) dan al-itsbaat (penegasan). Secara harfiah, kalimat laa ilaaha (tiada tuhan) berarti menafikan keberadaan tuhan-tuhan nisbi, dan kalimat illa Allah (selain Allah) berarti pengukuhan atau penegasan bahwa Allah adalah Tuhan yang sejati. Pengukuhan akan adanya Tuhan berarti kesadaran dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di mayapada ini terwujud berkat perkenan-Nya. Tanpa campur tangan Tuhan, mustahil manusia mampu menyelesaikan pelbagai persoalan kehidupan, termasuk yang sepele sekalipun.


Baca Juga : Pancasila Untuk Semua


Dengan demikian, tauhid merupakan karakteristik yang paling mendasar, sebuah pernyataan yang berisi mengenai keyakinan bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini kecuali Allah. Tauhid juga merupakan ciri dari cara pandang Islam yang integral terhadap realitas dan kebenaran, dan yang membedakan antara obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual, dan lain sebagainya. Pandangan ini berbeda dengan konsep humanisme sekuler yang bercirikan “antroposentris”, yakni menganggap manusia pusat kehidupan dan menempatkannya di titik sentral yang melahirkan suatu pandangan bahwa manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu di dunia ini.


Sebagai sebuah pandangan hidup, tauhid akan membawa bagi siapa saja yang meyakininya pada atribut yang melekat dalam dirinya. Atribut ini adalah sebuah sikap dan perilaku yang senantiasa dikembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di antara atribut yang melekat dalam diri manusia yang telah menjadikan tauhid sebagai pegangan hidupnya adalah sebagai berikut:

a.       Manusia tauhid memiliki komitmen utuh terhadap Tuhannya, sehingga berusaha secara maksimal untuk menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuan yang ada

b.      Manusia tauhid menolak pedoman hidup yang bukan datang dari Allah. Dengan kata lain, manusia tauhid selalu melakukan emansipasi dan restorasi kebebasan esensialnya dari belenggu buatan manusia sehingga komitmennya terhadap Allah tetap utuh dan kokoh.  

c.       Manusia tauhid selalu bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. Manusia tauhid bersikap progresif dalam arti tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif.

d.      Manusia tauhid memiliki tujuan hidup yang jelas, di mana seluruh ibadahnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah semata, sehingga tidak pernah terjerat dalam nilai-nilai palsu atau tanpa nilai (disvalues). Semua yang dimiliki di dunia hanyalah sebuah instrumen dan sarana pendukung dalam menggapai keridhaan Allah SWT.

e.       Manusia tauhid memiliki visi yang jelas mengenai kehidupan yang harus dibangunnya bersama-sama manusia lain, yaitu suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri.

 

Tauhid Melahirkan Jiwa Merdeka


Apabila dicermati, kelima atribut di atas sesungguhnya adalah perwujudan dari jiwa yang merdeka. Merdeka sendiri dapat dimaknai dengan bebas dari perhambaan atau penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak lain, dan dalam batas tertentu memiliki keleluasaan atau dapat berbuat sekehendak hatinya. Kemerdekaan berarti suatu kondisi setiap manusia yang di dalamnya orang memiliki kebebasan, keleluasaan menentukan diri sendiri, dan tidak terikat dengan apa pun dan siapa pun. Dalam Islam, kemerdekaan yang dimaksud tentu harus berakar pada nilai fundamental sprititual, yaitu nilai-nilai tauhid. Sehingga dengan itu kemerdekaan akan mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan.


Mentauhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Sedangkan nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan itu sendiri. Karena kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa kemerdekaan, manusia tidak mungkin dapat menjalani hidupnya sebagai seorang manusia. Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia itu sendiri, tidak lagi berfungsi sebagai manusia yang sesungguhnya. Harga diri setiap manusia karenanya diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia oleh manusia itu sendiri.


Ajaran Islam hadir sesungguhnya untuk memerdekakan manusia dan untuk membawanya ke satu peradaban yang tinggi dan bermartabat. Islam datang dengan nilai dasar tauhid. Tauhidlah yang secara hakiki bisa membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari penjajahan. Dengan tauhid, manusia hanya akan mengakui keagungan dan kedaulatan Allah semata-mata. Dengan dasar tauhid, manusia tidak akan gentar dan tunduk kepada kekuatan lain kecuali hanya kepada Allah. Sahabat Abu Bakar r.a. bersedia menginfaqkan seluruh hartanya di jalan Allah, sebab dia telah merdeka dari pengaruh harta. Ali bin Abi Thalib r.a. berani menggantikan Rasulullah Saw tidur di pembaringannya pada peristiwa hijrah, karena dia telah merdeka dari rasa takut kepada selain Allah. Demikian juga Bilal bin Rabah r.a. tabah menerima siksaan kaum kafir Quraisy, sebab jiwanya telah merdeka dari pengaruh kekuasaan orang lain.


Dalam pandangan Buya Hamka, tauhid yang mengakar dengan benar akan melahirkan jiwa zuhud yang menumbuhkan keyakinan dan sikap bahwa manusia tidaklah memiliki apa-apa dan tidak pula dimiliki siapa-siapa, kecuali hanya memiliki Allah dan dimiliki hanya oleh Allah. Inilah inti substansial dari makna merdeka atau kemerdekaan. Jiwa merdeka adalah jiwa yang hanya bersandar kepada Allah semata. Manusia hanya memiliki Allah dan hanya Allah-lah yang dimiliki oleh manusia. Hingga sampailah pada keyakinan bahwa Allah-lah pencipta, pemilihara, pengatur dan penguasa alam semesta; keyakinan bahwa Allah Tuhan yang haq; dan kepercayaan bahwa Allah-lah yang hanya wajib disembah.

 

Jiwa Merdeka dan Amal Shalih

Siapa saja yang memiliki jiwa merdeka, maka dia tidak akan ragu untuk melakukan amal shalih. Apapun yang ada pada dirinya adalah jalan untuk melakukan amal sholih. Tidak ada rasa takut kehilangan atau pun kekurangan. Dalam pandangan Muhammadiyah, kesadaran tauhid pada dasarnya akan membentuk dua kesadaran; yaitu  kesadaran akan adanya hari akhir, di mana dia akan mempertanggungjawabkan hidup dan kehidupannya; dan kesadaran yang menjadikan hidup di dunia ini hanyalah untuk beramal shalih. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati” (Al-Baqarah/2:62).


Dengan alasan iman kepada Allah, hari akhir dan beramal shalih manusia akan mampu menempatkan diri pada kedudukan yang sebenarnya sesuau dengan tujuan penciptaan Allah terhadapnya. Selain itu, manusia pun akan mampu mempertahankan kemuliannya sebagai ciptaan Allah. Sebagaimana firman Allah: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya (At-Tin/95: 4 - 6). Dan selanjutnya dia pun akan menjadikan seluruh hidup dan kehidupannya untuk beribadah hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk-Nya. (Miftahulhaq, MT PWM DIY)

0 Comments: