Oleh : Zulfikar (Majelis Tabligh PWM DIY)
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ
ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” QS Al-Baqoroh: 143
Pembahasan antara relasi agama dan negara
seringkali menjadi perbincangan yang hangat di tengah publik, mulai dari kajian
ilmiah di kelas-kelas akademik hingga diskusi ringan di warung kopi. Perdebatan
yang sering muncul ke permukaan tidak akan jauh dan selalu berkaitan dengan posisi
serta peran agama didalam interaksi dan hubungan sosial antar masyarakat.
Termasuk didalamnya peran agama Islam dalam merumuskan sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Diskursus ini bukanlah bahan baru yang
muncul ke publik. Tetapi mengulas persoalan ini lebih dalam tentu akan
menghasilkan pemahaman dan wawasan keilmuan yang lebih luas demi mencari pola
terbaik dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang berbasis pada
kemaslahatan. Dengan jalan terbaik itu akan melahirkan kehidupan yang harmonis
dengan menjunjung tinggi kepentingan rakyat.
Di dalam wacana sistem ketatanegaraan
Islam, kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah merupakan sebuah tujuan
(ghayah), tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan (wasilah).
Tujuan utama dari sebuah negara adalah menciptakan kemaslahatan dan keadilan.
Simpulnya, negara diseleranggarakan demi terwujudnya kesejahteraan dan
kemakmuran untuk seluruh rakyat.
Karena itulah, Islam lebih banyak berbicara
persoalan negara yang lebih bersifat global (ijmali) dan garis besar (kulli),
seperti keadilan (al-‘adalah) dalam QS An-Nisa: 58, musyawarah (asy-syura)
dalam QS Ali Imran: 159, kesetaraan (al-musawah) dalam QS An-Nisa: 1,
kebebasan (al-hurriyah) dalam QS Al-Isra’: 70 dan lain sebagainya.
Dalil-dalil ini merupakan prinsip dalam menjalankan sistem pemerintahan yang
kesemuanya tentu bermuara kemaslahatan umum.
Para Ulama berpendapat bahwa esensi dari
kehidupan sejatinya hanya ada dua, yaitu mendatangkan kebaikan (maslahah)
dan menghindari keburukan (mafsadat). Dengan tujuan utama tersebut,
tentu menjadi penting untuk mewujudkan kemaslahatan dengan menghadirkan negara
sebagai bagian dari sarana dengan meletakkan prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan oleh Islam. Kesetaraan dan keadilan antar umat manusia sangat sulit
akan terwujud jika tanpa kehadiran negara. Pun sebaliknya, negara yang dibangun
tanpa didasari pada prinsip-prinsip kemaslahatan akan sulit mewujudkan keadilan
dalam hubungan sosial.
Senada dengan itu pula, kehadiran negara
untuk mendatangkan kemaslahatan merupakan sebuah keniscayaan yang digambarkan
dalam kaidah fiqh:
مَا
لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang menjadi syarat terwujudnya
wajib adalah wajib.”
Islam memandang bahwa negara akan sangat
membantu dalam mewujudkan kemaslahatan. Agama dan negara layaknya mata koin
yang tidak bisa dipisahkan. Agama memerlukan negara untuk mengimplementasikan
nilai-nilai kebajikan sebagaimana negara membutuhkan agama untuk membimbing
jalannya pemerintahan berdasar pada prinsip-prinsip umum kemaslahatan dan
kebaikan.
Maka
dalam konteks inilah, Islam hadir di bumi Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk
utama serta menjadi kompas dan arah perjalanan yang kemudian direpresentasikan
melalui Pancasila sebagai dasar negara. Islam hadir melalui misi rahmatan lil
‘alamin yang dibingkai dalam Pancasila sebagai cita-cita bersama dalam
mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera di tengah kondisi masyarakat yang
majemuk. Pancasila lahir dari budaya bangsa Indonesia yang luhur, juga diterima
dan disepakati sebagai dasar negara.
Demikian pula dalam pandangan dua
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah yang memandang Pancasila
sebagai Darul ‘Ahdi wa Asy-Syahadah (negara konsensus dan persaksian)
sebagaimana pandangan NU yang memahami bahwa Pancasila merupakan Mu’ahadah
Wathaniyah (konsensus kebangsaan). Sebab
dalam konteks masyarakat Indonesia yang multi-kultural, multi-ras dan
multi-agama, Pancasila merupakan dasar yang paling ideal. Inilah wajah Islam
yang sesungguhnya, Islam yang menampilkan sikap santun, beradab, damai,
toleran, dan saling mengasihi dan saling merangkul dalam kebaikan.
Memang, dalam sejarahnya bangsa Indonesia
khususnya founding fathers dan para pejuang kemerdekaan pernah
memperdebatkan soal dasar negara yang salah satu opsinya adalah menerapkan
syariat Islam secara eksplisit. Bukti yang paling jelas sebagaimana yang
tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun, perdebatan tersebut menimbulkan pro dan
kontra yang kemudian berujung pada penghapusan 7 kata pada silat pertama.
Penghapusan ini tentu bukan tanpa sebab.
Seandainya para pejuang kemerdekaan dengan mayoritas yang diisi oleh kaum
muslim tetap ngotot untuk mempertahankan dasar negara dengan menerapkan
syariat Islam secara eksplisit dalam konteks budaya dan bangsa Indonesia yang
pusparagam, bukan tidak mungkin jika bangsa Indonesia akan terpecah dan justru
akan menghasilkan konflik yang berkepanjangan. Penolakan itu muncul sesuai
aspirasi dari masyarakat Indonesia timur yang keberatan jika menggunakan
redaksi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Walaupun kemudian Islam sangat menjamin
toleransi dan berpihak pada keadilan, menghindari konflik dan perpecahan merupakan
pilihan terbaik dibanding bertahan pada pilihan yang justru menumpahkan darah
antar sesama anak bangsa yang melawan kolonialisme dan memperjuangkan
kemerdekaan. Pilihan ini tentu sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Upaya menolak kerusakan harus
diprioritaskan daripada upaya untuk memperoleh kemaslahatan.”
Karena itulah, dalam konteks keindonesiaan,
Pancasila merupakan dasar yang cocok dan sangat ideal dengan realitas kebudayaan
yang ragam. Kesepakatan ini merupakan perwujudan untuk menetapkan dasar negara
yang berorientasi pada kemaslahatan namun tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai kemanusiaan universal. Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya
sebagai semboyan belaka, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai dasar dari kehidupan rakyat
Indonesia.
Ketika Soekarno berpidato pada 1 Juni 1945, ia menyatakan bahwa hendaknya Indonesia memiliki philosofische grondslag, yaitu fundamen, filsafat dan pikiran yang sedalam-dalamnya yang berfungsi sebagai dasar dari bangunan suatu negara. Itulah yang hari ini kita sebut dengan Pancasila. Dasar yang menjunjung tinggi kemerdekaan dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. [p]
0 Comments: